Selasa, Januari 13, 2009

Sosiologi sastra

Sosiologi Sastra

MENELAAH karya sastra dilakukan dengan (a) kajian/ studi sastra, istilah the study of literature yang diperkenalkan oleh Rene Wellek dan Auten Warren dan (b) sosiologi sastra. Telaah untuk (a) berkomitmen dengan apresiasi sastra yang menyertakan baik unsur-unsur intrinsik seperti tema, alur, karakterisasi, gaya bahasa, setting maupun unsur-unsur ekstrinsik yang mencakup faktor/aspek-aspek sosial dan budaya.

Sosiologi sastra merupakan interdisipliner sosiologi dan studi sastra. Objek telaahnya yang pokok bertumpu pada unsur ekstrinsik sebab unsur intrinsik hanya berfungsi pelengkap. Sosiologi sebagai ilmu sosial semula ajaran filosofi yang berorientasi Helenisme/ Yunani kemudian dirintis oleh Auguste Comte (1798-1857) menjadi ilmu sosiologi sociologie, sociology merupakan ilmu pengetahuan yang tugasnya mempelajari pelbagai persekutuan hidup, pranata/ institusi sosial, hubungan antaranggota dan antarkelompok masyarakat, beserta tenaga/kekuatan yang menimbulkan perubahan masyarakat. Pada intinya mengkaji makhluk sosial dalam peri kehidupannya.

Pertumbuhan pesat telah menghasilkan sub-subdisiplin sosiologi hukum, sosiologi ilmu, sosiologi bahasa yang kerap disebut sosiolingustik, sosiologi perkotaan 'urban sociology', sosiologi pedesaan rural sociology dan akhirnya sosiologi sastra yang termuda.

Dari sekian objek telaahnya mengenai masalah kemasyarakatan adalah (1) masalah perburuhan/ ketenagakerjaan yang bersangkut-paut dengan faktor sumber daya manusia 'human resources' dan (b) masalah human relation demi tercapainya hubungan yang harmonis, kerukunan, ketertiban. Visi itulah yang sedang digagas dalam masyarakat modern.

Dengan memerhatikan pendapat Josselin de Jong dalam disertasinya "Minangkabau and Negeri Sembilan" direstui pendekatan/metode diakronis dan pendekatan sinkronis ketika dilakukan telaah salah satu aspek sosial. Kedua metode ini diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure, perintis ilmu linguistik struktural dalam meneliti struktur suatu bahasa beserta aspek-aspeknya.

Secara sederhana marilah kita menggunakan pendekatan diakronis terhadap salah satu karya sastra yang berbahasa Sunda dengan pengkajian sosiologi sastra sambil memfokuskan kedua masalah sosial tsb. di atas. Buku yang berjudul Cartia Budak Minggat oleh Samsudi, penerbit Balai Pustaka pada masa kolonial. Pada tahun 1965 terbit kembali oleh CV Pustaka Sunda. Buku ini bukan kisah mengenai kenakalan anak-anak yang ceria, jenaka seperti kebiasaan yang karakteristik pada cerita anak. Oleh karena itu, Cerita Budak Minggat sangat lain dari buku cerita Si Doel Anak Betawi oleh Aman Datuk Madjoindo atau Tom Sawyer oleh Mark Twain, pengarang AS yang populer. Barangkali cerita Budak Minggat hampir mirip setingkat di bawah Oliver Twist karya Charles Dicken, yang mengisahkan masalah perburuhan pasca Revolusi Industri di Inggris yang kadang-kadang memperlakukan anak sebagai buruh industri. Bedanya si Kampeng sebagai tokoh sentral cerita terbilang anak desa yang lugu 'innocent' tertinggal dalam pendidikan dasarnya, terpaksa menjadi kuli kontrak di Pulau Bengkalis untuk menebangi pepohonan di hutan. Harap maklum pemerintah kolonial hanya menyediakan pendidikan bagi orang desa Sekolah Sambungan "Vervolg School" yang lamanya 2 tahun. Lulusannya dipersiapkan sebagai sumber daya manusia 'human resource' di perkebunan-perkebunan milik swasta.

Sebagai anak desa yang lugu, si Kampeng merantau menjadi koeli karena melarikan diri setelah merasa berdosa berbuat suatu kesalahan. Dengan memalsukan umurnya, ia dikontrak oleh perusahaan penebangan kayu. Hidup di hutan bekerja keras padahal sosok fisiknya belum dewasa. Betapa pahit kehidupannya, penuh kesengsaraan, penderitaan layaknya buruh kasar. Fenomena ini mengingatkan kita pada penderitaan para TKI sebagai korban calo-calo yang memperdagangkan buruh-buruh itu sebagai komoditi ekspor pada masa sekarang ini.

Apa yang dipaparkan oleh Samsudi mungkin fiktif mungkin realitas namun hampir mirip dengan nasib para TKI ilegal di negeri Jiran. Dalam menempuh kehidupannya si Kampeng anak Sunda dari kawasan Bandung tempo dulu, berkenalan dengan Kim San, kuli juga keturunan etnik Cina. Mereka tinggal bersama dalam bedeng.

Pada suatu ketika si Kim San terkena musibah, secara spontan si Kampeng memberi pertolongan kepadanya secara tulus ikhlas. Bagi si Kampeng pertolongan wajib diberikan kepada sesama umat yang ditimpa kemalangan. Tidak terlintas dalam pikirannya yang sederhana kalau dirinya orang pribumi sedangkan temannya orang asing keturunan Cina. Tak secuil pun hinggap benih prasangka ras racial prejudice yang merasuki manusia-manusia modern.

Dengan pertolongan itu sadarlah si Kim San bahwa dirinya perlu menjalin persahabatan sejati jatining sobat dengan anak desa yang berhati mulia, manusiawi. Persahabatan antara dua orang yang berbeda keturunan ras/etnik namun berpadu hati sanubari merupakan alur yang signifikan mengenai human relation untuk manusia-manusia modern yang cenderung egois, individualis. Plot ini langka digarap atau diungkapkan oleh para pengarang Sunda yang seangkatan/sezaman dengan Samsudi bahkan para pengarang Sunda modern kini pun belum sampai ke situ.

Meskipun kontrak habis, keduanya pulang ke tempat asal masing-masing. Si Kim San sukses menekuni profesinya sebagai pemilik toko. Ketika dia berjumpa dengan teman, sahabatnya yaitu si Kampeng, sikapnya tidak arogan, mau menerima kehadirannya dengan ramah dan rendah hati.

Bila seluruh isi cerita kita resapkan dan direnungkan dengan kebebasan, ada nilai-nilai akhlak yang tersirat bahwa si Kampeng merupakan simbol orang desa yang lugu dan berhati mulia, siap menolong sesama umat tanpa membedakan keturunan ras/etnik, tanpa memikirkan untung rugi sebagai home economicus yang selalu berlandaskan benda materi/uang. Selanjutnya visi yang diamanatkan kepada mereka warga keturunan sadarlah bahwa bangsa Indonesia bersikap toleran terhadap mereka asalkan mereka menghayati budaya "Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung" memahami silih asih silih asuh. Beradaptasi, berintegrasilah dengan anggota masyarakat setempat. Insya Allah kita mampu membina kehidupan yang rukun, harmonis, silahturahimi. Karena warga keturunan hidup, mati, lahir di negeri ini hendaknya berupaya menjalin pergaulan, persahabatan sebagaimana yang dilambangkan dengan tokoh fiktif si Kim San.***


Tidak ada komentar: