Selasa, Januari 13, 2009

Sastra realisme sosialis

STUDENT HIJO : SECUKIL POTRET SASTRA PERLAWANAN
(Membincangkan Sastra Realisme Sosialis)

Jaman ketika dunia sastra mulai hangat-hangatnya menyentuh saya-tahun 1980-an-saya hanya bisa bangga dan terkagum-kagum bisa membaca Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Dari Ave Maria, Jalan Lain Menuju Roma atau roman lainnya yang wajib saya baca di Sekolah Menengah Pertama maupun Sekolah Menengah Umum. Bayangan saya, hanya demikianlah perjalanan sastra kolonial Indonesia. Penuh romantika, menggurui dan sangat lugu. Keyakinan saya itu semakain dipertegas dengan begitu banyaknnya novel dan roman-roman yang sekan-akan wajib dibaca oleh siswa bahkan penikmat sastra. Belakangan saya tahu bahwa cerita-cerita romantis yang pernah saya baca itu hanya sebagaian kecil bentuk kekuasaan kolonial (Belanda) untuk mengkerdilkan dunia sastra pribumi. Tentunya lewat Balai Pustakanya.
Nama Mas Marco Kartodikromo (1890 - 1935) saya kenal ketika saya menginjak bangku kuliah. Nama ini saya kenal berbarengan dengan nama Semaon, yang menulis sastra-sastra yang melawan kekuasaan Balai Pustaka ketiaka itu. Semaon sebelumnya hanya saya kenal sebagai tokoh komunis di Indonesia, juga dengan Mas Marco. Saya baru tahu bahwa bisa juga lewat sastra melakukan proses perubahan dan memasukkan unsur ideologi --komunis dalam hal ini-lewat karyanaya. Paling tidak memiliki kerya lain dari arus besar dunia sastra kolonial yang mendayu-dayu, romantis dan tanpa kesadaran perlawanan.
Rasanya saya sangat jauh membandingkan bagaimana bagian gerakan sastra perlawanan di tanah air yang melawan kekuasaan balai pustaka, dengan gerakan sastra marxis yang dikenal dengan realisme sosialis. Rasanya jauh juga menghubungkan perananan Maxim Gorki dengan Mas Marco atau Semaon. Tapi paling tidak ada semangat yang membentuk ketiga nama ini, yaitu semangat penolakan, penegasan sikap untuk melakukan perlawanan terhadap sastra dan juga seni pada umumnya yang borjuis, kelas atas, megah.
Mungkin juga Balai Pustaka bisa dikatakan potret dari sastra borjuis yang sangat mengagung-agungkan hal-hal formal dan biasa-biasa saja dalam karya sastranya. Bisa dilihat bagaimana roman romantik Siti Nurbaya yang dikemas dengan bentuk cerita yang rapi, megah dan hanya menampilkan kisah romantisme adat yang bisa ditebak ceritanya. Gaya berceritanya sangat mapan, bahasanya mendayu-dayu dan formal, alur ceritanya juga sangat mudah untuk ditebak. Hal lainya juga menampilkan bagaimana kekuatan cinta bisa menembus segalanya. Ah, sunguh sangat romantis sekali. Dari itu terlihat jelas bagaimana sebenarnya sastra borjuis hanya menagandalkan kekuatan bentuk, bukan kepada kekuatan isi dari ceritanya.
Student Hijo, setidaknya menegaskan dirinya sebagai sastra berlawanan ketika karya Mas Marco ini menyentuh dan merupakan representasi masyarakat Indonesia ketika itu yang dijajah Belanda. Novel inipun lahir sebagai sikap politik dari Mas Marco sendiri yang merupakan aktivis revolusioner yang berpindah dari penjara ke penjara. Selain Student Hijo, Sama rata sama rasa adalah karyanya yang lahir di penjara. Sikap politik dan perjuangannya melawan kolonial Belanda mengharuskannya ditahan dan dibuang di Boven Digoel dan menghenbuskan nafas terakirnya disana.
Student Hijo, dengan tokoh utama Hijo terbit pertama kali tahun 1918 melalui Harian Sinar harapan dan keluar sebagai buku tahun 1919. Sebagai cerita yang dilahirkan dari Penjara, tentu awalnya tidak begitu mendapat tempat. Apalagi ketika itu kekuasaan Balai Pustaka begitu besar.
Cerita Student Hijo memang sangat kental potret perlawanannya. Melalui tokoh Hijo, mas Marco berusaha memotret bagaimana usaha golongan kelas menengah pribumi untuk coba masuk kelingkaran kolonial Belanda. Golongan intelektual pribumi yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari inilah yang terbukti oleh sejarah yang melakukan gerakan pemikiraan untuk kemerdekaan di tanah air. Hijo, setidaknya ingin dipotret Mas Marco, ingin melakukan pemberontakan dari dalam kolonial Belanda sendiri, yaitu dengan mempelajari bagaimana kehidupan, pola-pola kebudayaan serta tradisinya.
Harapan akan lahirnya golongan intelektual, sebagai cermin perubahan dipotret mas Marco dalam diri Hijo dan keluarganya yang was-was melepas hijo ke Belanda. Potret Hijo, sebagai golongan borjuis kecil pribumi digambarkan Mas marco sebagai sosok yang kuat, keras, tapi sangat kental emosi keluraga (ibu, bapak, tunangan, kerabatnya) dan bangsanya. “Meski Hijo seorang pemuda yang tebal hati, tetapi ketika dia melihat tunangan dan ibunya sama menangis, dia pun mengeluarkan air mata juga buat kasih tanda kecintaannya”.
uga bagaimana Hijo mengkontraskan kehidupan negeri Belanda dengan tanah airnya di Indonesia. Kehidupan-kehidupan megah, bagaimana ketika dia menonton pertunjukan Faust karya Gothe, juga kehidupan glamor disekitarnya. Sampai kemudian Hijo dekat dengan Betje, perempuan Belanda yang ternyata jatuh cinat kepadanya. Semuanya diceritakan sangat kontras, juga bagaimana kegelisahannya yang ditulisnaya melalui surat-surat kepada keluarga dan tunangannya. Sampai kemudian akhir cerita di Dua Tahun yang Telah Lalu, “Hijo telah kawin dengan R.A Wungu, dan hidup senang menjadi jaksa di Jarak (tempat kelahiran Hijo)”.
Secara sederhana, potret karya Student Hijo memeberikan sebuah alternatif karya sastra yang melawan arus besar sastra Balai Pustaka ketika itu. Juga bagaimana sastra realisme sosialis lahir dari perlawanannya terhadap karya sastara borjuis. Maka tidak salah, jika cukilan atau contoh Student Hijo serta karya sastra lainnya disebutkan sastra perlawanan, atau istilah Eka Kurniawan dalam pengantar Dongeng Dari Sayap Kiri sebagai Sastra Berpihak.
Analisis Marxis yang dipakai acuan oleh sastra realisme sosialis, setidaknya menemukan benang merah ketika konteks sastra haruslah menyentuh pada dasar-dasar perlawanan manusia untuk memanusiakan dirinya. Darah dan semangat realisme sosialis memberikan semangat bahwa karya sastra dibentuk dari kondisi kontradisksi dan sikap manusia terhadap kondisi yang membelenggunya. Sastra sosialis dan perlawanan mengarah pada pemebentukan kebudayaan proletar yang berdasarkan pada sosialisme kerakyatan-memotret kehidupan rakyat dengan rasa emapati dan kemanusian. Sesuai dengan konteksnya, sastra realisme sosialis yang sesungguhnya akan menemukan musuhnya sendiri, sesuai dengan konteks jamannya. Termasuk juga Student Hijo, Semaon atau juga karya sastra Maxim Gorki, Gabriel garcia Marquez atau Jean Paul Sartre.

Tidak ada komentar: